Anakku Mari Belajar Mencintai Hutan Seperti Suku Kajang

Dulu waktu SD saya belajar tentang suku suku di Indonesia. Ada suku Asmat, suku Badui dan suku suku lainnya yang tersebar di daratan Indonesia. Saya tentu tidak mempunyai pengalaman praktis berhubungan dengan orang orang suku pedalaman. Tapi ketika saya pindah ke Makassar tahun 2016 silam. Saya bertemu dengan teman yang merupakan salah satu keturunan suku kajang yang berada di Bulukumba Sulawesi Selatan. Kabupaten Bulukumba sendiri berjarak sekitar 165.4 km atau perjalanan darat sekitar 4 jam 9 menit melewati jalan poros Takalar.

Saya sampai di Bulukumba tentu bukan karena ikut suami tugas luar kota. Tapi karena ikut menjadi relawan kelas inspirasi bulukumba ke-4 di daerah bonto bahari Bulukumba. Suku kajang sendiri hidup di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Jaraknya sekitar 60 kilometer dari pusat kota Bulukumba. Suku ini kebanyakan beragama Islam namun masih sangat kental tradisi mistisnya. Mereka masih sangat percaya jika hutan dan tempat tempat keramat serta suci lainnya dijaga oleh para wali. Suku kajang sendiri merupakan suku tertua yang ada di Desa Tana Toa.

Suku Ammatoa atau Suku Kajang ini adalah suku yang mencintai alam terutama hutan. Kecintaan Suku Kajang terhadap lingkungan dikarenakan Suku Kajang yang menganggap hutan selayaknya ibu sendiri, karena ibu adalah sosok yang dihormati dan dilindungi. Bagi orang Kajang hutan wajib dilindungi dan dilestarikan oleh mereka karena hutan adalah sumber kehidupan mereka. Suku kajang ini sangat menjunjung tinggi nilai nilai atau pesan pesan suci yang bersumber dari Tuhan yang Maha berkehendak.

Ciri khas yang tampak mencolok pada teman teman suku kajang adalah pakainya yang serba hitam semuanya dan tidak memakai alas kaki baik sepatu ataupun sendal, benar benar barefoot. Bahkan jika ada wisatawan yang ingin berkunjung ke desa suku kajang, mereka harus memakai pakaian berwarna hitam seperti masyarakat di sana.

Teman saya kak Abby yang sempat mengunjungi Desa Tana Toa tempat suku kajang menetap

Menurut mereka, warna hitam memiliki makna kekuatan, kesederhanaan, persamaan, serta persatuan dalam segala hal. Semua sama; semua serba hitam warnanya. Kesamaan yang terkandung dalam warna ini juga dalam berarti kesamaan sikap dalam memperlakukan alam dan lingkungan, terutama kelestarian hutan yang wajib dijaga karena merupakan sumber dari kehidupan.

Sekilas tentang suku kajang

Ketika masuk desa tempat suku kajang berada, suasana hijau dan segar langsung menyeruak. Tepat di bagian pintu gerbang masuk terpampang jelas tulisan dalam bahasa Suku Kajang “Salamakki Antama’ Ri Lalang Embaya Rambang Seppanna I Amma”. Dalam bahasa Indonesia, artinya selamat datang di kawasan tempat kecil Amma.

Bahasa yang digunakan dalam tulisan itu adalah bahasa Konjo. Bahasa yang biasa digunakan oleh masyarakat yang bermukim di wilayah Timur Kabupaten Bulukumba. Wilayah Timur Bulukumba meliputi Kecamatan Kajang, Herlang, Bonto Tiro, dan Bonto Bahari tempat saya ikut menjadi relawan kelas inspirasi.

Siapa saja yang memasuki kawasan adat tersebut, diharuskan untuk melepas alas kaki, entah itu sepatu ataupun sendalnya. Lalu diharuskan memakai pakaian hitam dan tidak menggunakan kendaraan apapun alias berjalan kaki memasuki wilayah adat. Bahkan pengunjung tidak boleh membawa kamera ataupun handphone. Tempat ini steril dari barang barang elektronik atau barang barang modern lainnya. Aliran Listrik pun tidak ada di desa adat ini. Jadi jangan berharap bisa bikin stories di Instagram kalau memasuki tanah suku kajang.

Bagi pengunjung yang tidak memakai atau membawa baju hitam, disediakan persewaan pakaian adat suku kajang dengan harga Rp. 100.000 untuk 3 buah pakaian adat. Setelah melewati gerbang, kita akan melihat deretan pepohonan rindang yang terhampar di depan kita. Kondisinya masih sangat sejuk, asri dan tenang. Tidak ada suara musik dari televisi radio atau handphone. Justru yang terdengar jelas adalah Kicauan burung yang sangat merdu didengarkan. Benar benar seperti masuk ke healing space. Hewan ternak seperti sapi dan kuda lalu lalang di jalan umum kawasan adat. Karena memang masyarakat di sini banyak yang bertani dan beternak serta menenun.

Suku Kajang dipimpin oleh seorang Amma Toa. Dalam pemerintahannya, Amma Toa dibantu oleh 26 Galla atau bisa disebut menteri. Ada sembilan pasal yang dijadikan pedoman dalam menjalankan sistem pemerintahan di Suku Kajang.

Aturan tertinggi yang ada dalam pasal-pasal tersebut adalah sopan. Setiap masyarakat Suku Kajang harus menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan. Sopan disini tidak hanya sopan antara sesama masyarakat suku Kajang tapi juga sopan kepada alam.

Lebih lanjut Amma Toa menjelaskan tentang nilai kesopanan itu meliputi rendah hati dan jujur. Nilai kejujuran ini tercermin dari rumah adat Suku Kajang yang juga sarat akan nilai kejujuran. Bangunannya sangat sederhana dan mencerminkan kejujuran para penghuninya yang tidak neko neko dan penuh gengsi.

Sumber foto: Andi Jusiman dan Haikal

Nilai kejujuran ini terlihat jelas dari desain rumah Suku Kajang yang menempatkan dapur justru di bagian paling depan. Bukan kamar tamu, tapi justru dapur yang pertama kali kita lihat ketika memasuki rumah suku kajang.

Terbuka dan jujur adalah konsep utama dalam pembangunan rumah mereka. Mereka berprinsip bahwa mereka harus terbuka kepada tamu. Apa yang ada di dapur wajib diketahui oleh orang (tamu yang datang). Kalau kita pasti malu ya karena dapur kita berantakan????.

Ternyata meletakkan dapur di bagian depan rumah juga mempunyai maksud untuk memudahkan tamu melihat perempuan di rumah tersebut. Karena, dalam aturan di Suku Kajang, salah satu syarat perempuan bisa dipersunting adalah bisa memasak. Wooow kalau perempuan milenial kayak kita bisa kalah ya sama perempuan perempuan suku kajang karena saya sendiri sampai sekarang masih belajar masak, belum ahli bikin masakan enak, ga terasa keasinan aja udah syukur?

Masyarakat Suku Kajang mannernya memang top banget. Mereka diikat oleh aturan agar masyarakatnya bertutur kata baik. Tidak mengeluarkan bahasa yang kotor, tidak sedap didengar. Bahkan yang berkata kotor bisa didenda dengan disuruh membeli pakaian dua juta. Waaah boleh ini buat checkout di market place heheheheh✌?✌?

Meskipun suku kajang anti teknologi dan modernisasi tapi mereka tetap mengijinkan anak-anak mereka untuk bisa menimba pengetahuan di luar kawasan. Bahkan teman saya yang berasal dari suku kajang ini melanjutkan pendidikan S2-nya hingga ITB. Tetapi meskipun begitu, ketika mereka pulang kampung, mereka tetap harus kembali mengikuti aturan adat dimana harus berpakaian serba hitam, tidak diperkenankan membawa handphone, laptop alas kaki ataupun kendaraan modern.

Belajar dari suku kajang

Suku kajang ini sangat anti dengan teknologi. Mereka menolak segala hal yang berkaitan dengan teknologi. Mereka punya anggapan bahwa teknologi bisa merusak alam. Mereka sangat menghargai alam sebagai sumber kehidupan. Mereka memiliki pola hidup yang selaras dengan alam. Mereka juga memperlakukan alam sebagai orang tua mereka yang harus dijunjung tinggi keberadaannya. Tak ada tindakan tebang pohon sembarangan tentunya apalagi membakar hutan. Hutan bagi masyarakat adat desa Tana Toa dianggap dihormati layaknya orang tua sendiri.

Selain itu, terdapat aturan yang ketat terkait pengelolaan hutan di dalam kawasan adat. Mereka percaya bahwa hutan di kawasan adat dijaga oleh 4 penjuru adat. Hutan juga dipercaya memiliki kekuatan magis yang berdampak pada keberlangsungan hidup suku mereka. Karena itu mereka tidak berani sembarangan memperlakukan alam dan hutan. Mereka tidak berani merusaknya. Ini jelas mengalahkan masyarakat modern kapitalis yang suka merusak alam dengan teknologi yang diciptakan. Keruk alam sepuasnya tanpa memikirkan efek jangka panjangnya, yang penting uang banyak masuk ke kantong. Sungguh ironis.

Di suku kajang, siapapun tidak boleh menebang pohon sembarangan di dalam kawasan adat. Jika itu terjadi, maka sanksi adat menanti di depan mata. Sanksinya tidak main main; denda sebanyak Rp 12 juta ??

Namun menebang pohon untuk kepentingan umum diperbolehkan dengan syarat si penebang wajib menanam pohon terlebih dahulu. Jika pohon yang ditanam sudah tumbuh, barulah penebangan bisa dilakukan. Sangat berperikehutanan sekali????

Untuk memasak mereka tidak menggunakan gas, tapi kayu bakar. Karena dalam masyarakat Kajang dilarang menebang pohon, mereka hanya menggunakan kayu bakar yang didapat dari ranting kayu yang sudah mati atau yang berserakan di hutan.

Inilah yang seharusnya kita contoh dari masyarakat adat yang hidupnya sederhana. Tidak maruk dan serakah memanfaatkan hutan. Mereka mengambil seperlunya dan merawat hutan dengan baik.

Masyarakat adat kajang masih sangat beruntung karena hutan mereka dijaga dengan baik dan tidak terancam upaya penjarahan sumberdaya alam dan pengalihan fungsi hutan yang menyingkirkan hak-hak masyarakat adat.

Hingga kini, masih banyak masyarakat adat yang terusir dari lahan mereka sendiri akibat ekspansi lahan pertambangan seperti di Papua atau ekspansi perkebunan kelapa sawit di Sumatra.

Apa peran kita?

Sebagai generasi muda, atau mama muda seperti saya, kita punya peran yang begitu penting terkait dengan hak hak masyarakat adat. Peran generasi muda ini sangatlah penting karena dapat menentukan nasib kaum adat beberapa tahun ke depan.

Kita bisa melakukan hal hal sederhana dimulai dari lingkungan rumah untuk ikut menjaga hak hak masyarakat adat, diantaranya:

1. Mengajarkan kepada anak anak kita tentang pentingnya belajar menjaga hutan dan lingkungan di sekitar kita. Misalnya dengan mengajarkan membuang sampah pada tempatnya sedari dini. Mengajak anak-anak anak ber-eduwisata ke hutan kota atau ke hutan terdekat dari rumah kita untuk mengenalkan keanekaragaman hayati di dalamnya termasuk mengenai masyarakat adatnya. Beruntung saya pernah mengajak anak saya ke gunung bawakaraeng Sulawesi selatan dan melihat bagaimana masyarakat di sana menjaga alam pemberian Tuhan.

Sumber: dokumen pribadi

Sumber: dokumen pribadi

2. Mengenalkan masyarakat adat ke anak anak. Bisa dengan membeli buku terkait dengan kehidupan masyarakat adat. Saya sendiri mengenalkan anak saya kepada teman saya yang merupakan anak suku kajang. Kebetulan kami bertemu di kelas inspirasi Bulukumba dan saya mengenalkannya pada anak saya. Dari sini kita bisa meneruskan pesan moral pada generasi yang akan mengisi indonesia kedepanya tentang pentingnya menjaga hak hak masyarkat adat yang begitu gigih menjaga alam yang patut kita lindungi.

3. Kita juga bisa ikut menandatangani petisi untuk Menghentikan tindak perampasan hak hak masyarakat adat. Sedih sekali kemarin melihat tayangan BBC indonesia tentang bagaimana perusahaan Korea melakukan pembakaran hutan di wilayah adat masyarakat Papua untuk membuka lahan sawit di sana. Pemerintah tentu harus turun tangan dalam hal ini

4. Sebagai ibu ibu milenialpun kita bisa mengambil peran dengan menulis tema tema tentang Pengakuan hak masyarakat adat atau bagaimana kita bisa belajar dari tradisi masyarakat adat yang selaras dengan alam dan pandai menjaga hutan. Agar semakin banyak orang terutama pemerintah yang melek hukum adat dan melek hutan. Jangan lagi ada proses yang meminjam istilah Herlambang P Wiratraman, Director at the Centre of Human Rights Law Studies, Universitas Airlangga disebut sebagai “negaraisasi hukum adat” yaitu memaksakan hukum negara (peraturan daerah, peraturan gubernur, dan peraturan lainnya) sebagai dasar hukum. Proses ini mengabaikan hukum adat yang sebenarnya sudah diterapkan oleh masyarakat adat secara turun-temurun. Tentu saja hal ini harus dilawan dan kita bisa melakukannya dengan tulisan.

5. Mengajarkan kepada anak anak penerus generasi bangsa bahwa kita harus berlaku adil kepada sesama termasuk kepada masyarakat adat. Selama ini masyarakat adat yang dianggap terbelakang dan tidak berpendidikan kerap dikerdilkan oleh korporasi yang mempunyai modal besar. Mereka menjadi seperti orang asing di tanah mereka sendiri. Jangan sampai hal ini berlanjut lebih lama lagi. Karena pada kenyataannya mereka yang dianggap tidak berpendidikan ini malah sangat pandai dalam mengelola hutan, merawat dan menjaga hutan.

6. Mendorong pemerintah atau instansi terkait untuk melibatkan peran serta masyarakat adat dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan alam dan kehidupan mereka.

Mudah-mudahan ya kita menjadi generasi muda atau golongan mama mama muda yang peduli dengan isu isu lingkungan di skitar kita termasuk isu isu hak hak masyarakat adat ini dan bisa berbuat sekecil apapun untuk masyarakat adat yang ada di Indonesia tercinta ini.

bundanisa

Penulis bisa dihubungi melalui email: kontakbundanisa@gmail.com

You may also like...

24 Responses

  1. Mugniar says:

    Pertama kali tahu suku Kajang tahun 90-an, saya sudah kuliah di Unhas. Nah, anak2 suku Kajang Dalam ini, ada yg kuliah. Dan kalau wisuda menyolok karena sekelompok orang berpakaian hitam terlihat di sekitar auditorium tempat wisuda dan mereka tak pakai alas kaki. Kontras banget kelihatannya.

    Nah, ada juga orang Kajang Luar, yang katanya tidak mutlak berpakaian hitam.

    Patut diacungi jempol cara mereka menjaga alam ya. Kehidupan mereka jauh lebih sehat pula daripada kita yang suka junk food. ?

    • bundanisa says:

      Bener kak kadang itu saya jd mikir sebenarnya yg primitif itu malah justru masyarakat modern ya kak. Mereka yg hidup di pedalaman hidupnya justru sangat selaras dengan alam dan mencintai lingkungan beda banget dengan org2 yang katanya “modern” tapi tindakannya merusak alam

  2. Masyarakat primitif seperti ini emang misterius dan bikin kita oenasaran pengan tau kehidupannya seperti apa ya…

  3. Juliastri Sn says:

    Luar biasa ya manner suku kajang ini. Patut dicontoh. Trus yang bikin saya takjub, unik juga ya letak dapur di bagian depan. Ternyata ada maksudnya 🙂

  4. Yeni Sovia says:

    Wah aku baru denger mba ada yang namanya suku kajang. Biasanya aku suka denger itu suka dayak, asmat, baduy hihihi. Keliatan ya mainku kurang jauh hahaha ?. Tadi pas baca, aku jadi senyum-senyum sendiri pas bagian syarat bisa nikah di suku kajang itu perempuannya harus bisa masak. Wadhu gawat itu di aku. Soalnya aku ga jago masak *plakkkk.

    Aku setuju mba, kita bisa bikin anak mencintai hutan dimulai dari hal-hal sederhana dan terdekat kita seperti tidak membuang sampah sembarangan dan lain – lai

  5. Nia Haryanto says:

    Wuih keren ya Suku Kajang. Aku baru tahu deh dengan suku ini dan budaya serta kebiasaanya terhadap hutan. Andaikan semua orang bisa seperti penduduk di Suku Kajang, hutan kita pasti masih bisa lebat ya, masih lestari seutuhnya.

  6. Indah Nuria says:

    Banyak sekali pelajaran penting yang bisa kita dapatkan dari suku Kajang ini ya mba.. terutama gaya hidup selatas dengan alam dan tanggung jawab mereka terhadap bumi. Harus kita teladani

  7. Desy Yusnita says:

    Aku juga sedang suka ngajak anak-anak bermain ke alam. Trekking ke hutan untuk melihat bagaimana lingkungan sekitar menjaga alamnya supaya seimbang.

  8. Berarti apartemen dan rumah yang compact tu kyknya juga meniru desain/ konsep rumah suka Kajang kali ya, dapur di depan, yg gak umum buat masyarakat 62 hihihi 😀
    Nah itulah mbak, nenek moyang kita dulu menjaga hutan sedemikian rupa, bahkan kyknya mitos2 kalau ambil buah atau apalah dr hutan tu dilarang nanti ada tuah begini2, rasa2nya itu bagian dr melindungi hutan kyknya. Sayangnya kdng teknologi bikin org gk mempercayai nilai2 yang demikian yaa
    Tugas kita sbg ortu memang kudu banget memperkenalkan soal kelestraian lingkungan hidup pd anak2 kita supaya generasi mendatang gk jd penerus yg ngrusak2 aamiin

  9. lendyagasshi says:

    Bagus sekali Suku Kajang yang kehidupannya menyatu dengan alam.
    Aku suka penasaran dengan kehidupan begini, pasti sangat damai dan tenteram yaa..
    Karena segala sesuatu dilakukan dengan sadar penuh, tidak terburu-buru dan memikirkan kebaikan alam ke depannya.

  10. Dedew says:

    Masyarakat adat seperti ini benar-benar peduli dan paham betul arti hutan untuk kehidupan kita, eh kita yang merasa modern malah membabat habis hutan..sedih…

  11. Alfa Kurnia says:

    MasyaAllah, di era serba teknologi gini masih ada suku-suku yang hidup tanpa bergantung pada teknologi digital dan memilih selaras dengan alam. Keren banget. Dan kagum sekali sama filosofi suku Kajang dan komitmennya menjaga hutan.

  12. Adindarara says:

    bener banget nih kita harus mengajarkan anak kita buat mencintai alam lingkungan sekitar apalagi hutan harus dijaga banget

  13. Dawiah says:

    Baca ini bertepatan dengan Hari Pohon Sedunia, rasanya jadi iri sama orang Kajang yang masih memelihara hutan, tanaman dengan tradisinya yang khas.

  14. Halo Bunda Nisa, menarik banget ya informasi tentang Suku Kajang yang sangat melestarikan alam ini. Aku jadi inget suku Baduy Dalam yang berpakaian serba hitam dan gak pakai alas kaki. Terus jadi inget juga dulu almarhum simbah kalau ke hutan “tutupan” gak pernah pakai alas kaki sebagai bentuk menghargai hutan.

    Sekarang gantian tugas kita buat ngasih tau ke generasi selanjutnya bahwa hutan itu harus dijaga dan dilestarikan demi masa depan.

  15. Widyanti Yuliandari says:

    Mirip sama baduy ya kalo di jawa. Semoga suatu saat bisa mendatangi merek

  16. Widyanti Yuliandari says:

    Mirip sama baduy ya kalo di jawa. Semoga suatu saat bisa mendatangi mereka. Gagal ke Makassar gara2 pandemi. Smg bisa jadwal ulang. Asap

  17. Hanifa says:

    Suku Kajang memang bener-bener teladan yang patut dicontoh oleh masyarakat modern di luar sana. Salah satu upaya yang bisa saya usahakan masih sejauh penandatanganan petisi. Semoga tidak ada lagi hutan yang digunduli setelah ini :’)

  18. Nia Nastiti says:

    Inspiring sekali Mak, jadi pengen ngenalin masyarakat adat ke anak juga nih. Mungkin dekat sini ke badui. Bagus sekali ya suku kajang tidak boleh menebang pohon sembarangan

  19. Tulisan yang menarik. Suku- suku lokal memang hidup berdampingan dengan alam

Leave a Reply to Eryvia Maronie Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!