Candi Sebagai Inspirasi Berkarya Anak Bangsa
Tanggal 19 Desember 2024 kemarin saya berkesempatan mengikuti acara dari Dinas Kebudayaan Sleman yang bertajuk Kunjung Cagar Budaya dengan mengunjungi dua cagar budaya tertua di Kabupaten Sleman yaitu Candi Sari dan Candi Kalasan.
Bersama dengan teman teman blogger, Putera Puteri Batik DIY dan UMKM batik kami berangkat dari kantor Dinas Kebudayaan Sleman sekira pukul 08.30 WIB. Sebelum berangkat, Ibu Endah Kepala Seksi Cagar Budaya, Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman menyampaikan bahwa kegiatan ini dalam rangka memberi informasi dan menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya Cagar Budaya dalam rangka penguatan ketahanan budaya dan identitas kebangsaan.
Acara ini merupakan sebuah upaya untuk menjadikan cagar budaya berupa candi ini menjadi bangunan yang menginspirasi karya peserta, baik itu karya tulisan maupun karya batik yang mengambil motif dari relief dekoratif yang terdapat di bangunan candi tersebut. Diharapkan peserta tidak hanya melihat-lihat candi, foto-foto lalu pulang tanpa membawa wawasan dan inspirasi. Acara kali ini justru membekali peserta dengan pengetahuan mendalam terkait dua candi tersebut dan harapannya mampu mewujud menjadi karya dari para peserta.
Candi Sari
Candi Sari merupakan salah satu dari cagar budaya di Kabupaten Sleman sesuai dengan Keputusan Bupati Nomor 14.7/Kep.KDH/A/2017 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman, yang harus dilindungi, dijaga kelestarian dan keasliannya seperti yang diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Lokasi Candi Sari secara administratif terletak di Dusun Bendan, Tirtomartani, Kalasan, Sleman.
Candi ini dibangun sekitar abad 8 Masehi dan masih berkaitan dengan Candi kalasan. Hal ini didasarkan pada kesamaan pola hias serta adanya bajralepa. Bajralepa sendiri adalah semacam semen kuno atau plesteran di ukiran batu candi. Lapisan pelindung khusus (Bajralepa) inilah yang membuat candi bisa tampak mempesona dengan warnanya yang kuning keemasan saat bulan purnama. Nampaknya kami harus datang ke Candi Sari ini saat bulan purnama agar bisa melihat kilau keemasan dari candi budha satu ini.
Candi Sari merupakan salah satu candi yang unik dari sisi arsitektur yakni menampakkan bangunan bertingkat yang mirip dengan mezzanine. Mezzanine sendiri dapat diartikan sebagai lantai yang berada di tengah suatu bangunan, yaitu berada di lantai bawah serta atap maupun plafon rumah dengan luas yang umumnya hanya sepertiga dari keseluruhan ruangan. Lantai mezzanine di candi ini menurut Mbah Shinta dari Balai Konservasi Kebudayaan wilayah 10, menggunakan kayu sehingga saat ditemukan terdapat semacam ruang untuk meletakkan papan kayu di bawah atap candi.
Candi Sari memiliki denah empat persegi panjang dengan konstruksi bangunan bertingkat. Bangunan candi bertingkat pada dasarnya telah banyak dijumpai pada relief Candi Borobudur. Candi terbagi menjadi tiga bilik yang kemungkinan di dalamnya pernah diletakkan arca Budha yang diapit Bodhisatwa. Diperkirakan dahulunya pembagian antara ruang atas dan bawah dipisahkan dengan lantai kayu. Pada dinding luar candi dipahatkan relief–relief Bodhisatwa sejumlah 38 buah yakni 8 di sisi timur, 8 di sisi utara, 8 sisi selatan dan 14 di sisi barat. Relief–relief tersebut digambarkan berdiri dengan memegang bunga teratai. Sedangkan pada sisi kanan dan kiri masing–masing jendela dipahatkan makhluk kayangan berwujud kinara dan kinari yakni makhluk bertubuh burung dengan kepala manusia.
Menurut para peneliti, Candi Sari didirikan Oleh Rakai Panangkaran yang merupakan raja kedua dari Kerajaan Mataram Kuno (746-784 M). Asal-usul pembangunan Candi Sari telah tercantum dalam Prasasti Kalasan (778 M atau 700 tahun Saka). Isi dari Prasasti Kalasan adalah para penasehat agama Wangsa Syailendra memberikan saran untuk Maharaja Tejapurnama Panangkarana atau yang terkenal sebagai Rakai Pangkaran agar mendirikan bangunan suci. Bangunan ini berguna untuk lokasi pemujaan Dewi Tara dan biara untuk pendeta Buddha. Kemudian pembangunan dua candi berlangsung, yaitu Candi Kalasan dan Candi Sari untuk lokasi pemujaan Dewi Tara.
Sejarawan dan arkeolog Belanda seperti N.J. Krom meyakini tempat ini sebagai tempat tinggal para biksu, hal ini dilihat dari adanya mezzanine atau lantai di bawah atap vandi pada kedua bilik kanan dan kiri candi serta adanya jendela untuk ventilasi.
Candi Kalasan
Candi ini terletak di Dusun Kalibening, Desa Tirtomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Kita akan melihat candi ini ketika melintasi jalan raya Solo-Jogja. Sama seperti candi Sari, Candi Kalasan juga bercorak Buddha, yang dibangun sebagai tempat pemujaan Dewi Tara. Sejarah Candi Kalasan ini dapat diketahui dari Prasasti Kalasan yang saat ini disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta. Sebelum dipindahkan ke Museum Nasional Indonesia, Prasasti Kalasan dulunya ditemukan di dekat bangunan Candi Kalasan.
Prasasti Kalasan menyebut bahwa para guru atau pendeta raja Sailendrawamsatilaka (Syailendra) memohon kepada Maharaja Dyah Pancapana Kariyana Panamkarana (Rakai Panangkaran) untuk mendirikan arca dan bangunan suci untuk pemujaan Dewi Tara, serta sebuah biara untuk para pendeta kerajaan yang fasih pengetahuannya akan Mahayana Winaya. Menurut para ahli, bangunan suci yang dimaksud adalah Candi Kalasan. Dari kalimat tersebut juga dapat diketahui bahwa fungsi Candi Kalasan adalah sebagai tempat pemujaan Dewi Tara. Permohonan para pendeta Buddha dikabulkan oleh Rakai Panangkaran dan pada 700 Saka (778/779 Masehi).
Keistimewaan Candi Kalasan Candi Kalasan ini terdiri dari tiga bagian, yakni kaki, tubuh, dan atap. Pada sisi luar kaki candi, terdapat relief jambangan yang mengeluarkan bunga-bunga dan sulur-suluran sebagai lambang keberuntungan dan kebahagiaan. Di sisi selatan, terdapat hiasan kepala kala yang cukup besar dengan jengger berbentuk segitiga yang dihiasi dengan berbagai ornamen. Hiasan kala tersebut dipadupadankan dengan makara (relief menyerupai bentuk binatang) yang melengkung ke bawah. Di bagian tubuh Candi Kalasan terdapat relung-relung yang dulu kemungkinan terdapat arca. Sayangnya arca arca tersebut sudah raib tanpa diketahui dimana keberadaannya.
Di sekeliling bangunan utama Candi Kalasan, terdapat sisa-sisa stupa kecil yang dulunya berjumlah sekitar 52 buah. Stupa-stupa yang kini tidak lagi utuh itu berfungsi sebagai tempat abu jenazah para pendeta Buddha yang telah meninggal. Candi Kalasan memiliki ciri khas dibandingkan candi lain di Indonesia. Salah satu ciri khas yang dimiliki adalah adanya sebuah batu berbentuk setengah lingkaran yang disebut moonstone (batu bulan) yang terdapat di depan tangga pintu masuk sisi timur.
Keistimewaan Candi Kalasan lainnya adalah memiliki pahatan ornamen yang kaya dan dibuat dengan halus. Sama seperti Candi Sari, bagian dinding luar candi Kalasan juga dilapisi lepa yang sangat kuat, yang oleh para arkeolog disebut dengan bajralepa, semacam plester bagi dinding candi yang melindungi dari pertumbuhan mikroorganisme sekaligus lapisan kedap air.
Istimewanya lagi candi ini sama sekali belum pernah dipugar sejak pertama kali ditemukan, candi ini hanya diperkuat pondasi dan strukturnya. Karena kondisi candi yang sudah berusia ribuan tahun, pengunjung dilarang masuk ke area dalam candi demi keamanan pengnjung dan demi kondisi candi yang lebih terjaga.
Siapa Dewi Tara?
Saya sendiri sangat penasaran dengan sosok Dewi Tara yang dibuatkan bagunan suci semegah Candi Sari dan Candi Kalasan. Tara adalah dewi perempuan dalam agama Hindu dan Buddha yang melambangkan belas kasih dan menawarkan keselamatan dari penderitaan kelahiran kembali dan kematian. Ia diyakini lahir dari empati terhadap dunia yang menderita dan sering dimintai perlindungan, bimbingan, dan pembebasan dari situasi sulit.
Namanya berarti “juru selamat” dalam bahasa Sansekerta tetapi juga diterjemahkan sebagai “bintang” dan dia dipanggil untuk bimbingan dalam kehidupan secara umum dan, khususnya, oleh mereka yang merasa tersesat dan mengalami kesulitan menemukan jalan mereka. Seperti bintang, Tara dianggap memberikan satu titik cahaya yang dapat dinavigasi. Dia dikaitkan dengan figur dewi ibu di sekolah-sekolah Buddha dari berbagai budaya dan mungkin paling dikenal oleh khalayak Barat sebagai Guanyin, dewi kasih sayang, dari Tiongkok . Dia tetap menjadi salah satu dewi yang paling kuat dan populer di sekolah-sekolah Buddha Esoterik, dan pemujaannya, baik dalam agama Hindu maupun Buddha, berlanjut hingga era modern.
Dewi Tara merupakan simbol transformasi dan kesetaraan. Tara sendiri dapat bermanifestasi dalam 21 bentuk dan karenanya mewujudkan nilai transformasi. Selain mantranya, para penganutnya juga melafalkan doa yang dikenal sebagai Pujian kepada Dua Puluh Satu Tara yang menyebutkan setiap bentuknya, apa yang dilindungi oleh bentuk itu, meminta bantuannya, dan memujinya atas keselamatannya dari kelahiran kembali dan kematian. Menariknya, popularitas dewi tara adalah daya tariknya bagi wanita yang menyadari bahwa mereka sama mampunya mencapai pencerahan spiritual seperti halnya pria.
Mengambil Inspirasi Dari Bangunan Candi
Sebenarnya kita bisa mendapat inspirasi dimanapun, kapanpun dan dari siapapun, termasuk dari bangunan candi ini. Mulai dari bentuk bangunan sampai relief yang kita temui di candi sari maupun candi kalasan, bisa menjadi bahan untuk menciptakan sebuah karya.
Erwin Djunaedi, Koordinator Teknis Kunjung Cagar Budaya Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman mendorong para peserta untuk melihat candi lebih dekat, mencermati keindahannya serta mendalami sejarah dibalik bangunan mahakarya nenek moyang kita, termasuk bangunan, ornamen dan reliefnya, untuk dijadikan ide sebuah karya sesuai bidangnya. “Teman-teman Putera-puteri Batik DIY, UMKM Batik DIY dan Komunitas Blogger Jogja, bisa melihat langsung bangunan dan relief candi, untuk dijadikan karya masing-masing”, ungkapnya
Sebagai contoh, untuk Putera-puteri Batik DIY, bisa membuat event fashion show di lokasi berdirinya candi saat bulan purnama sambal menikmati keindahan candi. Bagi pelaku UMKM batik bisa menggambar sketsa relief yang terdapat di candi untuk menjadi motif batik yang akan dijual ke khalayak ramai. Namun perlu konsultasi juga dengan dinas terkait atau pemuka agama terkait, mana ornamen atau relief yang boleh dijadikan motif batik dan mana relief atau ornamen yang sakral dan dilarang untuk dicetak atau digambar di atas kain. Para blogger pun bisa membawa candi untuk dibuat tulisan yang menginspirasi.
Harapannya tulisan ini juga mampu menginspirasi pembaca untuk lebih menghargai cagar budaya kita, warisan nenek moyang leluhur kita semua dan menjadikan candi tak sekedar bangunan mati namun memiliki dampak yang menginspirasi dan dirasakan oleh masyarakat sekitar.