Kisah Martini, Srikandi Dari Kahayya

Martini, sebuah nama yang singkat, menggambarkan nama dari angkatan tua jaman dulu kala. Sekilas saat saya bertemu dengan beliau, tak ada yang spesial. Seorang ibu yang berusia skitar 40 tahun dengan perawakan yang kecil, sederhana namun ramah. Beliau adalah ibu kepala desa kahayya.

Pagi tanggal 19 Desember 2017 sekitar pukul 23,30 WITA kami tiba di rumah kepala desa Kahayya bersama rombongan peserta workshop blogger inklusi. Sebuah workshop yang digagas oleh SCF atau sulawesi community foundation bekerja sama dengan The Asia Foundation, kemitraan partnership, YKPM,Yasmib, PKBI Sulsel, dan Lakpesdam Bulukumba. Bersama 5 mobil rombongan kami melaju menuju desa kahayya, sebuah desa yang terletak di selatan provinsi sulawesi selatan. Kahayya merupakan sebuah desa pegunungan di pelosok Kabupaten Bulukumba. Desa ini berjarak sekitar 35 Kilometer dari kota Bulukumba atau sekitar 180 kilometer dari kota Makassar. Tempat ini belum terlampau familiar bahkan bagi warga Bulukumba sendiri. Teman saya yang asli Bulukumba, nyatanya belum pernah mendengar nama desa ini. Hal ini sudah cukup menyiratkan betapa Kahayya cukup terisolir dan tak akrab di telinga warga kotanya. Dengan ketinggian sekitar 1200 meter di atas permukaan laut. Kahayya menyimpan potensi wisata yang luar biasa dan hasil alam yang melimpah ruah.

Jalan yang begitu terjal, berlubang serta curam sempat membuat mobil kami tidak bisa naik ke atas. Kami pun harus rela turun dari mobil untuk berjalan ke atas. Dengan tertatih menggendong anak, saya dan teman teman perlahan menyusuri gelapnya jalan berbatu dan berlubang itu untuk sampai di atas. Namun, jalanan terjal dan medan yang berat, seketika terbayar lunas dengan suguhan pemandangan alam yang luar biasa.

Istilah Kahayya sendiri dalam bahasa setempat diartikan sebagai “kopi”. Jadi, pemberian nama tersebut, terkait dengan potensinya sebagai daerah penghasil kopi di kabupaten Bulukumba. Kahayya awalnya hanyalah sebuah dusun kecil yang dihuni oleh petani yang berladang cengkeh, kopi, sayur-sayuran dan buah-buahan. Belum cukup satu dekade, Kahayya resmi menjadi sebuah desa yang berdiri sendiri dan berpisah dari induknya (Desa Kindang).

Kahayya adalah daerah perbukitan atau anak gunung Bawakaraeng yang berbatasan langsung dengan dua Kabupaten yakni Sinjai dan Bantaeng. Berbeda dengan daerah perbukitan umumnya, Kahayya semakin memukau karena dibentengi oleh gugusan gunung dan bukit, hulu sungai balantieng, dan suhu udara yang menyejukkan. Donggia merupakan salah satu spot di mana kita bisa melihat gugusan gunung Bawakaraeng dan gemericik sungai Balantieng. Andai saja saya tidak membawa Nisa anak saya, tentu saya meilih untuk turun dan berenang di sungai jernih dan sejuk itu.

Pertemuan dengan srikandi Kahayya

Tiba di Kahayya, kami disambut senyum hangat dari ibu Martini. Keluar dengan berselimut tebal, ia mempersilahkan kami masuk dan beristirahat di kamar yang telah beliau siapkan. Dinginnya udara pegununan kahayya, begitu menusuk saat kami tiba di kahayya. Tak pelak, selimut tebal pun langsung saya ambil untuk menyelimuti anak saya yang ikut rombongan.

Pagi harinya, kami sudah disuguhi aneka minuman dan makanan ringan oleh ibu Martini. Sajian kopi kahayya tak lupa tersaji di depan kami. Kopi inilah yang menjadi primadona kampung kahayya. Dengan kondisi dataran tinggi yang dingin di Kahayya, membuat pohon kopi tumbuh dengan baik di sana. Tak hanya kopi, cengkeh dan tembakaupun tumbuh subur di sana. Aneka sayuran seperti buncis,labu siam dan aneka sayur mayur lainnya tak perlu repot mereka beli, karena sayuran itu tinggal petik dari kebun mereka yang asri.

Bu Martini, menjadi salah satu petani kopi, cengkeh, buah buahan dan sayuran apa saja yang bisa tumbuh di kebun belakang rumahnya. Beliau bahkan bisa membiayai sekolah anak pertamanya di Universitas Teknologi Yogyakarta. Mengambil jurusan psikologi, tak kurang dari 140 juta harus beliau siapkan untuk proses pendidikan anaknya, dari mulai pendaftaran, biaya kuliah, biaya kos, biaya makan sehari hari hingga biaya tiket pesawat pulang pergi.

Saya sendiri selaku warga Jogja cukup kaget mendengar penuturan ibu Martini. Biaya sebesar itu bisa beliau lunasi secara kontan, tanpa hutang sana sini. Saya merasakan gurat semangat dan keikhlasan hati beliau membayar semuanya. Tak tampak keluh kesah sama sekali. Bahkan, senyumnya terus mengembang saat menceritakan kisah ini pada saya.

“Saya yakin kok mbak, kalau saya niatkan ikhlas untuk memintarkan anak saya, ada saja rizkinya. Saya ga takut keluar biaya banyak, insyaalloh ada nanti jalannya. ” tutur bu Martini mantap.

Sambil menyeruput kopi kahayya di depannya, kembali ia bercerita,

“Ada mbak tetangga kampung saya, yang pekerjaan pegawai bahkan gajinya satu bulan bisa sampai 10 juta, tapi ketika tau biaya yang saya keluarkan untuk sekolah anak saya di Jogja, ia bilang tak sanggup dan lebih memilih menyekolahkan anaknya di Makassar saja. Padahal menurut pandangan saya, ia lebih mampu dari saya. Ya itulah mbak, namanya keberanian kan ga setiap orang punya. Kalau saya berani saja ambil keputusan, karena memang anak saya mau sekolah di Jogja dan saya berusaha untuk mencarikan dana pendidikannya, karena itu tanggung jawab saya sebagai orang tuaya. Saya ikhlas dan sama sekali tidak memikirkan uang yang saya keluarkan itu. Saya kasih aja tanpa mikir panjang dan macam-macam. Asal untuk pendidikan, berapapun biayanya, saya insyaalloh sanggupi ” ungkapnya.

Lagi lagi saya dibuat terkesima dengan pernyataan beliau. Rasanya saya ingin menangis terharu di depan beliau. Saya juga orang tua, saya juga seorang ibu. Rasa-rasanya saya tidak akan mampu seperti beliau. Bayangkan saja, hidup didaerah terpencil yang jauh dari akses pendidikan dan fasilitas yang memadai, beliau punya pemikiran yang begitu maju. Sinyal operator seluler nomor wahid pun susah menembus pegunungan terjal di sekitar kahayya. Namun ibu ini mempunyai wawasan dan tekad yang mampu menembus terjalnya jalan pegunungan.

Bu Martini, yang bahkan sekolahnya tidak tamat SD mampu berkomitmen kuat untuk memintarkan anak-anaknya, dengan segala upaya. Tak peduli jika ia harus ke kebun tiap hari, menanam dan memetik kopi sendiri. Suaminya, yang berprofesi sebagai kepala desa tentu sibuk dengan urusan warganya. Sehingga, pak kades jarang bisa bantu bu Martini ke kebun. Pak kades bahkan kerap ke kota Bulukumba untuk mengurusi segala kebutuhan warganya, dari mulai pengurusan KTP, kartu keluarga, BPJS, dan lain sebagainya. Kesibukan pak Kades, membuat bu martini, harus rela turun ke ladang sendiri. Tanpa keluhan beliau turun sendiri ke kebun dan membiayai sekolah ketiga anaknya dengan tangannya melalui kopi dan hasil kebun lainnya.

Garis garis lelah memang nampak di wajahnya, tapi percayalah senyumnya yang mengembang setiap saat mengalahkan kesan lelah itu. Ia dan pak kades tak segan mengeluarkan biaya untuk sekolah anak-anaknya, agar penerus mereka mampu memajukan kahayya dan mempunyai masa depan yang cerah ke depannya. Sering juga keluarga bu Martini nombok untuk membiayai urusan warga, tapi itu tak jadi soal baginya. Bagi bu Martini dan keluarga, sedekah untuk warga justru akan meluaskan rizkinya.

Ah rasanya saya begitu malu dengan beliau, tekad, keihlasan dan daya juangnya melebihi saya ibu ibu muda jaman now. Beliau mengingatkan saya akan sosok ibu saya di rumah yang banting tulang dengan ikhlas membiayai keempat anaknya untuk sekolah. Wanita yang katanya lemah, ternyata tak begitu kenyataanya. Saya melihat kekuatan luar biasa dari sosok ibu martini dibalik isolasi geografi, minimnya akses dan terjalnya jalan pegunungan.

Tak berlebihan rasanya, jika bu Martini saya anggap sebagai srikandi kahayya. Tokoh wanita yang sangat berani,menebar panah semangat serta penuh kebaikan.

Kahayya dan kopinya menjadi saksi perjuangan seorang ibu bernama Martini dalam mencerdaskan anak-anaknya, tak peduli dengan isolasi geografis yang ada di sekitarnya.

bundanisa

Penulis bisa dihubungi melalui email: kontakbundanisa@gmail.com

You may also like...

6 Responses

  1. Membaca tulisan ini saaya jadi terharu dan ingat Ibu sendiri. Tidak terbayang peluh dan lelah yang ia keluarkan untuk anak2nya. Sehat selalu Ibu Martini

  2. Aisyah Reyzz says:

    Sangan menginspirasi ya ibu martini.. Semiga kelak anaknya pulang menjadi penerus pembangunan di desanya

    Tidak seperti kebanyakan anak” di desa yang kuliah ke luar dan akhirnya memutuskan mencari kerja di luar dan lupa membangun desanya sendiri

  3. Muliadi Makmur says:

    Mantap tulisannya,semoga semakin banyak srikandi2 di desa kahaya

  4. Uga says:

    Perempuan luar biasa, sangat menginspirasi kak, jadi terharu bacanya 🙂

  5. Azure Azalea says:

    Kesadaran seperti ini yang sangat penting dimiliki, bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang. Bu Martini memang luar biasa. Sangat mengispirasi.

  6. Nuraeni says:

    Luar biasa, sy msh kecil dulu sy oetnah jkn ke kahayya, memang dsana byk Kopi,tembakau, n sayuran yg alami. Enak skali makan dsana meskipun tanpa lauk ikan, tp lebih mantap Klu ada ikan Teri DG sayur alami penduduk dsana

Leave a Reply to Nuraeni Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!