Saat Rumah Tak Lagi Terasa Seperti “Rumah” ( Podcast Curhat Dong Buuund Season 2 Episode 4)

Semua bermula saat saya memasuki SMP, bertahun tahun yang lalu. Memasuki usia puber yang justru sangat menyiksa. Saya terlahir di lingkungan pesantren dengan aturan dan tradisi yang mengikat. Tak boleh pacaran, main terlalu malam, dan aneka aturan hidup yang mengekang lainnya. Dengan tuntutan untuk terus berprestasi dan mendapat beasiswa untuk menopang biaya sekolah, membuat saya tumbuh menjadi pribadi kutu buku yang kolokan, kuper, pelit ilmu, egois, njelehi, dan aneka sifat buruk lainnya. Pada akhirnya saya tak punya teman di sekolah, semua teman menjauhi, di rumah pun kakak saya cuek, orang tua sibuk kerja dan satu satunya teman saya adalah buku. Dan ketika sudah asyik baca buku saya tidak keluar kamar dan akhirnya dimarahi lagi karena kemudian saya tidak mengerjakan pekerjaan rumah sepeprti mencuci piring dan lain lain.

Terkadang saat sumpek, saat ga tau lagi harus cerita ke siapa, saya suka ngomong sendiri. Curhat sendiri ditanggapi sendiri, nulis nulis keluhan di tembok kamar dll. Merasa tak punya teman cerita membuat kebiasaan ngomong sendiri berlanjut hingga sekarang. Bahkan saat KKN saya ketahuan temen tim ngomong sendiri di lokasi KKN. Sampai punya dua anak pun saya masih suka ngomong sendiri dan ke-gap anak saat bibir saya ndremimil ngomong sendiri heheheh. Apakah itu salah? Saya rasa ga sih, toh hal itu me-release semua rasa di jiwa dan ga membahayakan jiwa saya maupun jiwa orang lain. Asal ga berlebihan aja dan ga ditempat umum, saya masih merasa oke dengen kebiasaan ini.

Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman saat itu, berubah jadi jeruji besi penuh aturan dan tekanan. Saya terjebak, saya marah, saya muak. Pada akhirnya saat di rumah saya merasa tak bahagia, dan di sekolah saya sengsara. Meskipun begitu, saya tetap berusaha bertahan dan mencoba menemukan solusi sendiri tanpa teman, tanpa kawan, tanpa bantuan saudara sekalipun. Toh percuma jika saya berontak pada keluarga karena itu tak akan banyak membantu kala itu.

Menulis menjadi terapi

Saat saya terasa tidak punya teman di sekolah, saat di rumah saya tak menemukan kenyamanan, maka buku dan tulisan menjadi hiburan. Saya mulai rajin menulis diary hingga berkembang menjadi cikal bakal lahirnya blog ini. Membaca dan menulis jadi obat bagi psikis saya yang terluka. Perlahan saya mulai membaca buku buku sufi, buku buku agama, buku buku seni bergaul dan lain sebagainya. Hal itu membuat Saya mengevaluasi setiap langkah yang pernah saya tempuh selama sekolah SMP yang notabene saya tidak punya temen dan dijauhi teman teman saya. Saya mencatat aneka sifat buruk saya dan mencoba merubahnya saat SMA. Alhamdulillah di SMA temen saya banyak bahkan ada yang sampai kos di rumah saya.

Setiap mengalami emosi negatif saya selalu ambil pena dan menulis. Saya tumpahkan segala uneg uneg rasa ga nyaman dan kemarahan saya. Rasanya lega sekali setelah meluapkan segala rasa lewat rangkaian kata di buku diary buluk warna abu abu saya. Sekarang tentu berbeda. Blog menjadi sebuah media untuk berbagi cerita atau sekedar berbagi resep belaka. Lewat blog pula terkadang ada pemasukan tambahan sekedar untuk beli bedak dan lipstick Loreal hehehe.

Mencoba memungut hikmah

Terkadang kemarahan pada masa lalu, pada orang tua, pada kakak atau pada teman masih menyisakan perih di dada. Tapi saya mencoba berbaik sangka. Orang tua yang menetapkan aneka larangan, adalah sebuah usaha preventif agar saya tidak terjebak pergaulan bebas. Toh sekarang saya sudah jadi orang tua dan merasakan punya anak. Ingin rasanya selalu melindungi anak dari aneka pengaruh buruk di luaran sana. Orang tua mungkin hanya ingin melindungi saya, hanya cara berkomunikasinya saja yang kurang tepat. Sekarang saya sadar jika saat puber itu saya dibiarkan bergaul dengan siapa saja, main kesana kemari, pacaran sana sini, mungkin saya tidak akan menjadi pribadi seperti saat ini. Saya akan banyak main, dan saya ga akan bisa masuk kampus favorit saya. Selalu ada hikmah baik di setiap kejadian.

Perihal membandingkan, orang tua kadang memang kelepasan. Orang tua pun pasti punya luka masa kecil. Pun saya, yang sudah jadi orang tua ini dan belajar parenting kesana kemari, saya juga masih kelepasan membandingan anak pertama dan kedua saat salah satu dari keduanya bandel atau membuat ulah. Tak bisa begitu saja kita minta orang tua berhenti membandingkan, toh kita saja kesusahan menahan diri dari membandingkan teman kita. Tanpa sadar kita pun sering membandingkan mantan, teman, kakak kakak kita bahkan kita tanpa sadar membandingkan orang tua kita sendiri dengan orang tua teman kita.

Mencoba mengevaluasi diri dan menjalin komunikasi dari hati ke hati menjadi sebuah ikhtiar agar orang tua kita lebih terbuka pada kita. Terbuka dengan alasan mengapa kita dilarang ini dan itu, mengapa kita tidak boleh main dengan si A atau si B, mengapa orang tua selalu membandingkan kita dengan saudara kita? Adakah suatu sifat atau perangai yang harus dirubah agar tak lagi dibandingkan? Dan aneka pertanyaan lain yang perlu diobrolkan dengan orang tua. Kalau memang hubungan terasa jauh dengan orang tua sehingga kita sungkan memulai obrolan, kita bisa menuliskannya di secarik kertas agar dibaca papa mama, atau meminta bantuan kakak untuk menyampaikan unek unek kita ketka lidah kita kelu di depan orang tua.

Perihal melarang main bersama teman atau berpacaran, mungkin orang tua belom mengenal kawan kawan kita hingga mereka ragu melepas kita bermain bersama. Mungkin orang tua takut kita diajak ke tempat tempat berbahaya atau alasan alasan penuh kekhawatiran lainnya. Ajak teman teman main ke rumah dan kenalkan mereka agar orang tua tak khawatir jika kita bermain bersama teman teman kita di luar rumah. Mungkin orang tua tidak ingin kita pacaran agar terjaga diri kita dari perbuatan yang dilarang agama. Mencoba menggali hikmah positif jauh lebih baik ketimbang menyalahkan keadaan atau bahkan menyalahkan orang tua.

Komunikasi adalah Koentji

Komunikasi merupakan sebuah solusi dari buruknya hubungan orang tua dan anak, hubungan adik dan kakak, atau suami dan istri. Mudah memang teorinya tapi sulit untuk diterapkan, apalagi jika ada rasa sungkan antara satu dengan yang lain. Tapi kalau bukan diri kita yang mulai, siapa lagi? Mengajak orang tua untuk ngobrol dari hati ke hati, sambil sesekali menikmati kopi atau cemilan lezat di ataș meja. Saya pun demikian, jika ada yang mengganjal di hati saya ajak orang tua untuk makan di luar sambil mencurahkan isi hati, keresahan dan ketidaknyamanan.

Hal ini rutin perlu dilakukan agar terjadi komunikasi dua arah yang saling membangun bukan menjatuhkan. Tidak harus ke restoran, cukup dengan minum kopi dan makan kudapan di depan rumah juga sudah cukup. Asal obrolan itu mengalir dengan ringan tanpa emosi apalagi memaki.

Saya pun masih belajar untuk jadi orang tua yang baik, orang tua yg protektif tapi tidak intimidatif. Melindungi tanpa melukai. Mari terus belajar menjadi, anak, orang tua, saudara, teman dan tetangga yang baik. Karena dari lingkungan terkecillah kita belajar. Cheers…..

Yuk dengerin edisi audionya di podcast curhat dong buuund episode saat rumah tak lagi terasa seperti “rumah”.

Bundanisa

bundanisa

Penulis bisa dihubungi melalui email: kontakbundanisa@gmail.com

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!