Syndrom PPDL: Sebuah Pelajaran Berharga bagi Ibu Baru seperti Saya

Dear bunda,

Saya hanya ingin berbagi pengalaman saya terkait dengan sebuah syndrom yang sempat membuat saya jatuh. Saya harus melewati lorong gelap bernama syndrom pra and postpartum depression loneliness (PPDL).

Semua berawal dari…..

Hal ini berawal dari perkenalan dan proses pernikahan saya dan suami yang berlangsung kilat tanpa drama pacaran. Saya kenal suami hanya 2 bulan dengan jalan taaruf di masjid kampus UGM. Daaan, kami menikah setelah hanya 4 kali bertemu dan beberapa kali email emailan dari pekanbaru dan dilanjut bertemu secara fisik di jogja, saat saya memutuskan resign dari pekerjaan di pekanbaru. Sangat singkat dan sangat dimudahkan, meskipun setelah menikah saya benar2 harus berusaha mati matian untuk mengenal dan beradaptasi dengan suami, begitu juga beliau.

Tanpa pesta yang besar kami menikah lillahi ta’ala. Bahkan saat kita mau menikah, suami justru keluar dari pekerjaannya di sebuah konsultan pajak di Jogja dan perusahaan otomotif di Magelang.

Tapi karena keyakinan akan firman Tuhan: bahwa Allah akan memberikan rizki dari arah yang tidak disangka sangka bagi hambanya yang berusaha untuk bertaqwa, akhirnya dua minggu setelah menikah suami diterima bekerja di sebuah lembaga negara.

Pengumuman mengagetkan ketika beliau mendapat penempatan di Makassar dan saya mendapat email sebuah letter of acceptance dari sebuah universitas di australia di bulan ketiga pernikahan dimana saya sudah hamil sekitar 2 minggu.

Saya tiba tiba kepikiran bagaimana saya bisa sekolah lagi dengan menggendol anak saya di perut. Bagaimana saya harus bilang pada suami, bagaimana agar saya diijinkan dan bagaimana nanti kondisi saya dan anak saya jika saya memaksakan proses untuk test beasiswa, bagaimana uang untuk test ielts dan lain sebagainya. Belum lagi pikiran bagaimana saya menjalani marriage distance relationship dengan suami yang baru saya kenal dan nikahi, bagaimana jika nanti saya menghadapi mertua ketika suami di rantau dan saya harus bersama mertua saat anak saya sudah lahir. Pikiran saya penuh dengan ketakutan. Benar benar overload otak saya waktu itu hingga sampai eror.

Belum lagi ditambah dengan kondisi morning sickness, mual muntah hingga 8 bulan usia kandungan, waaah pokoknya mantap! Lahir batin otak semua sakit.

Saya kemudian menjadi takut bertemu orang dan ketika bertemu orang, saya berbicara meracau dan mengeluh tiada henti. Saya begitu saja mogok kerja dan takut ke kantor. Sampai manager kantor datang ke rumah. Kata ibu saya, saat itu saya tidak bisa bicara, hanya memandang orang dengan nanar dan menangis.

Pikiran saya kalut dan kacau, saya benar benar mengalami stress berkepanjangan hingga berujung pada depresi akut. Kata kakak saya, saya sering meracau, berbicara tanpa sadar, tidak tidur selama berhari hari bahkan sampai satu bulan lamanya. Lebih parah lagi karena di jawa banyak sekali pamali untuk orang hamil, sehingga saya makin stress dirumah jogja. Mertua magelang sempat meminta saya tinggal disana, tapi orang tua tidak mengijinkan mengingat kondisi saya yg fluktuatif dan masih sering tidak sadar.

Saya merasa benar benar kecewa, kagol, sakit hati sekaligus tidak siap dengan semua kondisi ini. Saya ingin sekolah dulu baru jadi ibu. Tapi Allah berkehendak lain.

Keluarga dan teman mencarikan psikiater,psikolog hingga guru ngaji agar saya kembali sadar. Tapi hasilnya masih nihil hingga saya melahirkan.

Setelah melahirkanpun depresi masih berlanjut, saya nampak baik baik saja di luar namun percayalah saya takut sama nisa anak saya. Ketika Nisa menangis, saya justru lari dan tidak mau tidur bersamanya. Saya takut padanya. Saya takut menjadi ibu.

Keadaan menjadi lebih baik ketika saya dijemput suami untuk ikut ke makassar setelah Nisa berumur kurang lebih 7 bulanan. Meskipun awalnya saya masih sering jerat jerit di kamar kosan makassar. Saya sering ditinggal dinas keluar makassar selama berhari hari bahkan sampai satu bulan lamanya dan sering ditinggal lembur kerja hingga jam 2 pagi. Bayangkan saja, sudah dalam keadaan sindrom ppdl eh masih juga ditinggal di kosan dengan nisa seorang. Saya masih kacau saat itu.

Saya sempat mengurung diri di kamar dan tak mau keluar kamar. Dan saya masih marah dengan keadaan. Saya marah marah pada nisa dan suami. Saya bosan dirumah, saya tak terbiasa diam pasif tanpa kegiatan. Itu sungguh menyiksa. Bahkan ketika pagi menjelang, saya selalu murung karena rutinitas dirumah yg membosankan. Sekarang saya menyadari bahwa saat itu saya benar benar kurang bersyukur.

Saya tak pernah membayangkan bahwa perpaduan antara, ketidaksiapan menjalani peran baru, mimpi yang terpoteq, hamil, melahirkan, banyaknya pamali, kerepotan menyusui, ketakutan mendengar tangisan bayi, kemarahan pada diri sendiri, kesulitan memaafkan diri sendiri, blom kenalnya saya dengan karakter suami dan jarak dalam marriage distance relationship kala itu, membuat saya benar2 hilang akal.

Kembali menjadi diri saya yang semula

Saya mulai sembuh perlahan ketika saya menemukan kegiatan, teman dan komunitas yang positif di Makassar. Saya menemukan fakta bahwa ternyata sebuah lingkaran pertemanan dan hubungan yang baik bagi seorang ibu, atau semacam peer community merupakan hal yang esensial bagi ibu.

Bagaimana relationship goals ini mampu menjadi obat mujarab bagi kesuntukan ibu ditengah aktifitas domestiknya dan untuk menjaga kewarasan ibu.

Saya masih ingat ketika saya masih kuliah dan masih membuat peta hidup saya. Target saya waktu itu adalah melanjutkan kuliah S2 diluar negeri selepas lulus, menjadi dosen,menulis buku,ikut konferensi nasional dan international sampe punya yayasan dengan nama muttaqin foundation (saya sudah bikin souvenir bertuliskan muttaqin foundation malah), yang saya bagi-bagikan ke teman-teman.

Saya ingin selalu eksis baik lewat organisasi kampus, kegiatan sosial maupun pekerjaan,karena itu saya jadi part timer sebagai penyiar radio di jogja dan aktif di beberapa organisasi. Saat itu saya hanya ingin berbeda dari yang lain dan have achievement.

Saya terbiasa bergerak dan bersaing dengan orang lain utk menjadi yg terbaik. Saya merasa sangat tidak berguna dan bersalah ketika saya hanya dirumah tak melakukan apapun; hanya berkutat dengan urusan domestik. Saya hanya tau bahwa punya segudang kegiatan itu menyenangkan dan cool.

Kalau saya ingat masa muda saya rasanya saya ingin menasehati dia. "Hey kamu, iya kamu. Jangan terlalu sibuk di tataran sibuk raga tapi sibuklah melatih jiwa mu untuk menjadi ibu yang sabar,telaten. Enjoy every moment, teruslah mengisi masa mudamu ini dengan banyak kegiatan positif yang mengembangkan kepribadian dan skill mu,meskipun kamu kadang begitu lelah. Dan yang terpenting, have fun dan nikmatilah masa masa indahmu bersama keluarga dan teman temanmu".

Ketika saya tidak lagi bekerja kantoran dan ikut suami merantau, melihat diri ini di rumah saja tanpa goal yang jelas kala itu, membuat saya merasa bersalah dan stress. Saya terjangkit Post power syndrom.

Dalam perasaan bersalah dan belum menerima sepenuhnya kehidupan yg baru sebagai ibu, saya merasa kesepian. Saya merasa tidak punya teman dan tidak tahu mau melakukan apa. Karena perasaan bersalah ini memicu saya terkena semacam depresi kesepian, ketakutan dan kekecewaan pra dan pasca melahirkan atau bahasa kerennya Pra and postpartum depression
Loneliness. Feeling stressed, sad,anxious, lonely, tired, or weepy. It can appear days (saya sampai berbulan-bulan) after delivering a baby. This syndrom can make it hard for me to get through the day, and affect my ability to take care my baby and myself. I feel i dont have any friends,and no body understand what i felt.

Setelah waktu berlalu saya mencoba menelisik kembali masa itu, saya perlahan mulai sadar dan memahami. Bahwa saya tidak menghidupi dan menikmati masa peralihan itu. Saya tidak tau apa yang harus saya lakukan dan saya tidak mempunyai teman dan belum menemukan komunitas yang bisa menjadi tempat berbagi bagi ibu baru seperti saya.

Good relationship is a key

Berdasar riset dari Harvard study of adult development. Sekitar 720 responden dewasa dari berbagai background,status dan kondisi ekonomi,harvard menemukan bahwa Hubungan yang baik adalah kunci hidup.

Good relationships makes you healthy and happy.

Dalam penelitian ini ada tiga hal yang menjadi catatan.

1. Social connection are really good for us and loneliness kills. Orang yang memiliki hubungan yang baik dengan keluarga, teman dan komunitasnya akan lebih sehat dan bahagia. Sebaliknya, orang yang kesepian akan mudah sakit dan tidak hidup lebih lama.
Jadi kalau kita merasa kesepian, telfon teman atau pergilah keluar bersama teman teman anda. Its ok to confess you need companion.

2. Hubungan yang berkualitas menentukan kebahagiaan diri. Hubungan itu naik turun, kadang mesra kadang ribut. Menurut penelitian, orang-orang yang memiliki hubungan yang berkualitas dan puas mereka akan lebih sehat dan bahagia. Sedangkan orang tidak memiliki hubungan baik serta penuh konflik, akan merasa jauh lebih sakit. Relationships are hard work and messy, not always sexy and glamorous, but its worthwhile.

3. Dan ini tak kalah penting. Orang-orang yang memiliki hubungan yang aman dan supportif, melindungi kemampuan dan kinerja otak. Menjaga para ibu untuk tetap waras. If you have secure , quality, connected relationship you will most likely have better memory in your eighties. Your brain is what you are, and your brain work as you are in your relationship, Ibu!
Memanusiakan diri, menjadi waras, mempunyai kebutuhan untuk berkelompok.

Saat ini saya sepenuhnya menyadari bahwa saat kita menjadi ibu baru, sangat penting untuk memiliki hubungan yang baik. Perasaan kesepian saat masa pra dan postpartum sangat tidak enak. So, Having great relationship, Having the best people that fits in our heart and life. Caranya, jadilah versi yang terbaik dari diri kita, jadi wanita yang supportif, dan menebar cinta ke sesama.

Bunda, kita punya hak untuk mempunyai lingkungan dan komunitas yang supportif. Semua butuh waktu. Dan saat kita menemukannya, kita akan lebih bahagia dan sehat jiwa raga kita. Yang perlu kita ingat adalah ketika kita berusaha menjadi orang yang baik, maka teman teman yang baik pun akan menghampiri.

Yup, jauh sebelum senyum bahagia saya tersungging, jauh sebelum saya menikmati peran baru saya sebagai istri dan ibu, saya belajar banyak hal dari syndrom PPDL ini. Lorong gelap bernama Syndrom PPDL ini membawa saya pada pelajaran berharga bahwa saya tidak boleh ngoyo akan mimpi saya. Saya harus menyerahkan semua usaha saya pada kehendak Allah SWT. Saya harus belajar legowo, belajar mengelola kecewa, belajar sabar,belajar nrimo ing pandum atau menerima takdir Tuhan dengan ikhlas. Belajar untuk bersyukur, belajar untuk manut sama suami, belajar ngalah, belajar untuk menekan ego dan mimpi. Belajar untuk menemukan lingkaran pertemanan yang positif dan belajar untuk menjadi istri dan ibu yang baik.

Buat calon bunda atau bunda yg saat ini mengalami sindrom kesepian parah atau sindrom kebosanan akut, baby blues, depresi, stress ato apapun itu namanya, tetaplah bertahan, usir sindrom itu dengan pelan pelan. Temukan dukungan baik personal maupun profesional, segarkan pikiran dengan hobi, jalan jalan atau apapun itu dan jangan menyerah. Kewarasan jiwa itu perlu dijaga, dan hanya bunda yang tau bagaimana caranya. Komunikasikan dengan suami, dapatkan ridhonya dan smua akan baik baik saja,insyaalloh.

Have a great day,bunda!

Bunda Nisa

Referensi: Halo Ibu

bundanisa

Penulis bisa dihubungi melalui email: kontakbundanisa@gmail.com

You may also like...

8 Responses

  1. Alfu laila says:

    Saya bersyukur banget, pasca lahiran anak pertama dan anak kedua, baby blues yang saya alami ga terlalu gimana-gimana gitu.. Semoga lahiran2 berikutnya juga gitu.. Ngerii juga ya

    • bundanisa says:

      Iya kak, ngeri pake banget. Makanya ini ayahnya nisa pengen ngasih adek ke nisa, tapi saya masih rada takut. Mudah2an itu sekali seumur hidup dan ga keulang lagi syndrom itu, aamiin.

  2. Rahmazaini says:

    Waah prestasi mbak dan aktivas mbak sungguh luar biasa ya mbak. Tapi kita harus menyadari bahwa menjadi ibu rumah tangga pun tak kalah hebat dari semuanya. Terimakasih mbak artikelnya

  3. Nanie says:

    Alhamdulillah fase itu sudah terlewati ya mba Atik, semoga ga meninggalkan trauma yg mendalam. Memang butuh dukungan dari keluarga utamanya suami 🙂

  4. dwiSabtia says:

    *Peluuuukkkk….
    Samaan Tik, cuman aq ga separah itu sih. Cuman memang tertatih-tatih banget masuk dunia ibu. Yg kulakukan selain mempelajari teknis pengasuhan bayi & anak, adalah mendalami filosofi menjadi ibu. Bahkan sampai sekarang & ke depannya harus terus menjaga feel diri sbgai ibu. Agar anak ga dianggap sebagai sebuah konsekuensi pernikahan semata.
    *cuma sharing dikit.

    Luv u so much.. semoga enjoy dgn aktivitas sekarang, terus produktif & siap jika dianugerahi anak kembali hihihi

  5. Sri Rumani says:

    Luar biasa kisah mbak Atik yang saya kenal sedari awal seorang aktivis “super woman”, ternyata mengalami kisah yang menarik utk dipetik pelajaran yang sangat berharga bagi semua orang khususnya para calon suami dan calon istri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!